BBM Naik dan Empati Penguasa

anner Infografis Siap-Siap Kenaikan Harga BBM Bersubsidi. (Liputan6.com/Abdillah)


Cobalah untuk keluar dari narasi kekuasaan. Jika terus diikuti, wacana publik cenderung akan terbentuk sbb: kenaikan harga BBM adalah wajar seturut dinamika global, Presiden Jokowi justru peduli pada subsidi untuk orang miskin, oleh karena itu kita fokus pada pembenahan penyaluran subsidi. 

Memang penyaluran subsidi tepat sasaran perlu dibenahi tapi masalah besar-sistemiknya bukan itu. Kesombongan, ketidakcakapan, dan ketidakadilan pemerintah adalah inti persoalan.

Itu yang tidak jujur diungkapkan kepada publik.

==

Ketidaktepatan dalam perkiraan harga minyak dunia.

Asumsi dalam APBN 2022 adalah US$63/barel. Itu tertuang dalam UU yang dibuat oleh pemerintah dan DPR.

3 Januari 2022, harga sudah US$78. Selama enam bulan terakhir, harga turun 10,74%. Sekarang (per status dibuat) harga US$95. (Lihat chart).

Artinya bukan kenaikan harga dunia masalahnya melainkan perkiraan harga pemerintah yang meleset---terlepas dari ada tidaknya perang. 

Itu dua hal yang berbeda maknanya.

===

Kenapa lagu lama terulang terus: narasi subsidi dinikmati orang kaya?

Yang menetapkan besaran subsidi dalam APBN 2022 adalah pemerintah. Besarnya Rp206,96 triliun. Tak ada urusan dengan kaya-miskin, angkanya segitu.

Yang menghitung proyeksi penerimaan dan pengeluaran mereka. Yang merevisi juga mereka. Rakyat mana tahu detail-detailnya. Cuma disuruh nrimo.

Tapi, kita perlu bertanya, mengapa pemerintah gagal memenuhi target penerimaan negara. Secara spesifik saya sebut penerimaan dari PNBP yang kemungkinan meleset jauh---salah satu komponen PNBP adalah penerimaan dari sumber daya alam dengan proyeksi Rp121,9 triliun. (pendapatan minyak bumi, gas bumi, iuran, royalti, kehutanan, panas bumi dsb).

Melesetnya jauh. Di APBN Rp335,5 triliun, lalu direvisi melalui Perpres 98/2022 Rp481,6 triliun. Kemudian realisasi jauh panggang dari api: realisasi Rp200-an triliun (per Agustus 2022).

Siapa yang salah? Padahal kerap kita dengar bahwa sektor SDA rawan korupsi, dikuasai oligarki. 

===

Bantalan sosial akibat kenaikan BBM terdiri dari Rp12,4 triliun (BLT), Rp9,6 triliun (subsidi upah), dan Rp2,17 triliun (subsidi transportasi). Total Rp24,17 triliun.

Cukup mengandalkan uang yang sering saya ributkan di status, jumlah total itu bisa ditutup: Rp11,4 triliun dari biaya pelatihan Prakerja (Rp1 juta/peserta, per 2021 ada 11,4 juta peserta) yang dinikmati segelintir platform digital dkk; Rp6,4 triliun dari duit Telkomsel yang dikasih ke GOTO; Rp18 triliun dari duit kerugian negara dalam kasus korupsi izin ekspor migor semasa Mendag M. Lutfi seperti dalam dakwaan jaksa. 

Belum lagi anggaran kereta cepat yang membengkak terus hingga Rp114,24 triliun (per Juli 2022), IKN yang kontroversial, dsb.

Negara telah memperkaya segelintir kalangan yang bahkan, mungkin, sekarang mereka tak peduli BBM naik atau tidak karena duit dan investasinya sudah terlampau banyak. Mereka bisa dengan seenaknya sinis kepada yang protes harga BBM naik. "Kadrun, lu! Protes aja, gak bersyukur dapat presiden baik, begini."

===

Beban kesalahan tidak pernah ditimpakan kepada penguasa. Bahkan, empati tidak perlu ditunjukkan oleh penyelenggara negara. Empati artinya mengidentifikasi diri berada dalam posisi orang lain---dalam hal ini rakyat kecil dan miskin. 

Harusnya, ketika keadaan susah, para pejabat birokrasi dan BUMN adalah yang terdahulu bereaksi dengan menurunkan gaji, fasilitas, tunjangan, tantiem, dsb. Ini kan tidak! Semakin Anda sebut negara sedang susah, semakin kita sakit hati karena hidup anda dari gaji dsb semakin makmur.

Laporan Keuangan Pertamina Tahun 2021, kompensasi Direksi Pertamina Rp221,5 miliar (kurs Rp15 ribu) dan Komisaris Pertamina Rp240,7 miliar. Direksi ada 6 orang, berarti Rp36,9 miliar/tahun alias Rp3 miliar/bulan; Komisaris ada 7 orang, berarti Rp34,3 miliar/tahun alias Rp2,8 miliar/bulan.

Pendapatan sebulan direksi Pertamina setara gaji UMR 750 orang buruh Jakarta!

Mau bilang apa coba? 

Coba tunjukkan satu saja direksi/komisaris BUMN yang menolak tantiem miliaran rupiah demi berempati kepada masyarakat.

===

Jokowi adalah sosok politisi yang daya sesumbar dan angkuhnya patut diacungi jempol. Demi meraih tangga kekuasaan, ia bak menjanjikan jembatan meskipun tak ada sungai di situ. 

Ketika menjadi Gubernur DKI---yang tak tuntas ia selesaikan masa jabatannya---ia sesumbar paling tidak suka yang namanya BLT, semi-semi (bansos), dsb. Nyatanya, Prakerja adalah semibansos. Sekarang pembagian BLT-nya ditayangkan live di channel-channel medsos. 

===

Jadi, dari semua itu, kita bisa lihat ada masalah lain yang bisa kita tinjau selain dari narasi-narasi yang dipublikasikan kekuasaan.

Coba kita ubah cara berpikir dan sudut pandang kita menilai suatu permasalahan. Pakai nurani, pakai empati. Niscaya kita sampai pada kesimpulan: pemerintah gagal! 

Yang diberitakan sebagai pejabat baik dan hebat sebetulnya biasa-biasa saja.

Salam.

Agustinus Edy Kristianto