Kabar Duka



/Oce

Kita milik Allah, dan akan kembali pada Allah.

SATU persatu teman masa kecil, teman masa sekolah, teman kuliah dan teman sepermainan telah dijemput Pemiliknya. Dengan berbagai cara kepulangan masing-masing.

Sesungguhnya mereka yang mendapat prioritas didahulukan itu lebih beruntung. Dan kita yang ditinggalkan diliput kesedihan mendalam. Bukan menangisi mereka yang pergi, tetapi menangisi  diri sendiri disentakkan dari rasa "kepemilikan" atas mereka yang  kita dekap kuat dalam jiwa. Kita nelangsa. 

Kita tak bisa berdusta bahwa kita tidak sedang menangisi peristiwanya, atau menangisi dia yang berpulang, tetapi kita  menangisi diri kita yang kehilangan. Manusiawi.

Begitulah, insani kita membuat kita ingin seluruh momen, semua kenangan, dan seluruh hubungan yang kita miliki tak boleh lepas. Tak boleh direnggut. Sahabat-sahabat masa lalu dan masa kini kita adalah kekayaan yang menghibur jiwa kita. Kita ingin abadi bersama mereka. Sayangnya, mereka, seperti juga kita, adalah kepunyaan Sang Maha Pemilik. Kita menyadari hal itu. Sepenuhnya. 

Kita bahkan juga menyadari sesadar-sadarnya bahwa setiap yang bernyawa pasti akan kembali kepada pemiliknya. Kesadaran itu juga yang membuat kita selalu gelisah karena kita tak tahu kapan waktunya. 

Meski tak tahu kapan, tapi kini kita merasa betapa semakin dekatnya saat-saat itu. Lantaran usia yang semakin menua. Tentulah persis seperti ucapan Imam Al Ghazali; "Yang paling dekat dengan diri kita adalah kematian."

Setiap kali mendapati kabar ada teman yang wafat, ada semacam ketakutan yang muncul tiba-tiba. Pertama kali saya merasakan pengalaman kehilangan teman ketika kelas 1 SD tahun 80an. Saat asyik belajar membaca INI BUDI di kelas, kami mendapat berita kalau teman kami yang bernama Baharni wafat, kami menjadi gentar. Kami menjadi ribut. Lalu membayangkan yang tidak-tidak. Kami takut menyusul segera. Lalu kami pun saling bercerita tentang kenangan  bersama Baharni yang tak sampai satu tahun sekelas dengan kami. Ia pandai bernyanyi. Seingatku dia pernah tampil memukau di depan kelas menyanyikan lagu Asben "Baa ke Tabang Sayok lah Senteang". Suaranya tinggi dan panjang. Kebetulan kakaknya, kalau tak salah biduan tukang dendang yang sering duet dengan tukang saluang. Baharni mungkin ketularan bakat saudaranya. Kami menyukainya karena ia baik, innocent, dan pengibur. Ia wafat tahun '79 (80?).

Setiap mendangar ada berita duka wafatnya seorang teman, saya selalu melongok ke dalam jiwa. Dan seketika selalu muncul kesadaran diri, mengingat segala kelakuan dan ucapan, atau mengkalkulasi amal ibadah apakah mencukupi sebagai bekal atau tidak. Selalu timbul kesadaran seketika bahwa dunia bukan target, Allah-lah tujuan sebenar-benarnya.

Sayangnya kesadaran ruhiyah dan ubudiyah itu hanya hadir sejenak saja. Iblis menawarkan banyak alternatif. Lalu lena lagi, dan saya lupa dengan kematian. Iblis lebih jago meng-oleng-kan kekukuhan yang coba saya bangun.
 
Innalillahi wainnanilaihi rajiuun. Selamat jalan sahabat.

Pku.
³/4/²3